Setelah hampir 4 bulan berjalan, seharusnya sudah saya tanggalkan saja kenangan itu di tepi jalan. Dibiarkan tandas, basah terbasuh hujan.
Setelah lamanya tiada sapa, seharusnya kubiarkan saja semuanya kandas. Seharusnya tak kumanjakan hati ini yang ingin terus menerus mengenangmu.
Setelah beratus-ratus satuan waktu kulalui tanpa suaramu lagi, seharusnya kubiarkan saja, segelanya mengendap menjadi endapan yang lapuk di dasar hati.
Seharusnya, semudah itu.
Tapi hati saya masih saja menuju kamu, ke tempat entah kunamakan apa, ada kamu disana, tapi tak kamu persilahkanku masuk.
Tapi hati saya masih saja mengenangmu, sebagai bahagia yang pernah begitu kurasakan. Bahagia yang sungguh tak ingin kusebut hanya menjadi kenangan kini.
Tapi hati saya masih saja melihatmu, sebagai apa yang kuharapkan menjadi kekal nanti di hati.
Seharusnya, semudah itu.
Setelah berkali-kali ditawarkan dengan bahagia yang baru, hati saya masih saja kamu.
Setelah berkali-kali disambangi untuk menyembuhkan hati, dunia saya masih segalanya tentang kamu.
Lalu segalanya tidak semudah seharusnya, hati saya terlalu rumit untuk diurai kembali menjadi sepotong yang baru. Ada ribuan kamu di dalam sana, yang menjadi juntaian benang-benang kusut yang tak lagi mampu saya uraikan. Masih saja kamu, membatasi ruang bahagia saya, memaksa saya mengingat bahagia-bahagia yang kini hanya menjadi 'pernah'. Bahaagia-bahagia yang selanjutnya kita sepakati sebagai kenangan. Bedanya, saya yang masih terus mengenang, sedang kamu yang terus melupakan.
Segalanya masih saja tentang kamu, masih saja tentang saya dan kamu, masih saja tentang tempat itu, masih saja saya terpaku dan kamu melaju.
Seharusnya, semudah itu.
Jikalau saja kamu tau hebatnya perang dalam hati saya yang menginginkan bahagia yang baru, namun masih saja kamu. Jikalau saja kamu mau tau prihal hati-hati yang tanpa sengaja saya patahkan, karena hati saya masih saja kamu.
Seharusnya, semudah itu.
Tapi saya masih saja gagal mengusir kamu dari tempat yang sudah lama kamu tinggalkan.
30 Nov 2016