Saya ingin menyebutmu sebagai malam, tapi saya takut pagi cemburu. Saya tak dapat pungkiri, gelap dan dinginmu justru menghangatkan.
Saya ingin menyebutmu sebagai musim semi, tapi saya takut hujan cemburu. Saya tak dapat pungkiri, hembus napasmu ialah angin segar yg saya rindukan.
Saya ingin menyebutmu sebagai hitam, tapi saya takut putih pun cemburu. Legam dirimu cerah sempurna di mata saya.
Saya ingin menyebutmu sungai, tapi saya takut samudera cemburu. Sederhanamu mencukupiku.
Saya ingin menyebutmu bintang, tapi saya takut mentari cemburu.
Saya ingin menyebutmu rumah. Tapi kamu tidak semampu itu melindungi dari rintik hujan.
Saya ingin pulang pada pelukmu. Tapi ia tidak lagi sehangat itu untuk kutinggali.
Segalanya semakin kelabu
Entah berapa lama pagi yang saya nantikan tak kunjung datang.
Mentari yg saya tunggu tak jua tiba.
Lalu saya mulai terbiasa dengan gemuruh hujan.
Riuh dan dinginnya, nyatanya menenangkan.
Perasaan dingin yg ditimbulkan, nyatanya mengantarkan saya pada perasaan damai.
Lalu saya terbiasa.
Lalu saya menjatuhkan hati saya pada hujan. Yg setia menyembunyikan mendung saya. Yg tidak dapat dilakukan pagi.
Lalu saya terbiasa.
Lalu saya mencintaimu hujan.
Lalu pagi kembali.
Merenggut hujan yg terlanjur sudah saya cintai.
Menghilangkannya dari pandangan saya.
Menawarkan hangat yg tidak lagi ingin saya rasakan.
Menyuguhkan berkas sinar yg bahkan saya pun lupa kapan terakhir kali saya melihatnya.
Saya merindukan hujan.
Pagi yg datang sudah tidak lagi saya nantikan.
Pagi yang datang terlalu lama.
Lalu pagi memaksa saya mencintainya seperti pada awal cerita.
Saya jelas tidak bisa. Dan tidak ingin.
Pagi yg justru membuat saya terbiasa akan adanya hujan.
Saya hanya merindukan hujan sekarang.
Tidak ada lagi pagi.
Kemudian pagi menangis.
Tepat di hadapan saya.
Ada perasaan getir dalam dada, kala melihat air mata yg tidak seharusnya saya saksikan.
Pagi memeluk tubuh saya.
Memohon saya kembali pada kecintaan pagi saya terdahulu.
"Saya tidak bisa", kata saya.
Kamu sudah pergi terlalu jauh. Dan saya menemukan kenyamanan saya disini.
Pada dia yg menurutmu tidak menarik, gelap, suram, dingin, gaduh.
Nyatanya gelap, suram, dingin, dan gaduh itulah yg kemudian menenangkan saya. Menerima saya seperti apa adanya saya.
Barangkali yg kamu sebut gelap itu adalah cahaya. Dan barangkali cahaya dalam tubuhmulah senyata-nyatanya gelap.
Lalu saya melepaskan pelukannya.
Pagi masih terisak.
Masih menggenggam tangan saya.
Saya mencoba melepasnya. Lembut dan hati-hati.
Seberapapun pagi pernah melukai hati saya sebegitu kacaunya, saya tetap tidak ingin melukainya dengan cara yg sama saat pagi melukai saya dulu.
Pagi masih terisak.
Tapi saya tidak ingin menghapus air matanya. Saya biarkan ia melakukannya sendiri, sama seperti apa yg pagi lakukan dulu.
Saya memalingkan pandangan.
Hati saya masih penuh diliputi oleh hujan.
Tujuan saya hanya satu, menemukan hujan dan merebahkan lelah dalam peluknya.
Saya rindu suara gemuruh yg ditimbulkan.
Saya rindu perasaan gigil hingga menembus tulang.
Saya rindu hujan.
Saya hanya ingin pulang.
24 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar