Selasa, 05 April 2016

Gadis di Balik Jendela

Gadis di Balik Jendela

Sore kala itu, beratapkan senja di langit jingga. Matahari dan kawanan burung gereja seolah berlomba untuk cepat sampai di peraduan. Desau angin beraroma peluh seolah berkata untuk segera pulang. Tapi tidak untuknya. Untuk siluet yang mengintip di balik jendela. Dia telah lama berdiri di situ. Menatap nanar pemandangan yang ada di depannya. Tatapan kosong itu seolah mewakili bibirnya yang membisu, yang seolah berkata bahwa dia Penanti yang Setia. Sinar-sinar senja yag menyusup lembut lewat celah-celah jendelanya, seolah bukan penghalang, bukan pula sebagai jam waktu untuk menghentikan kebiasaannya itu. Hingga matahari benar-benar sampai di peraduannya tak sedikit pun kakinya beranjak. Dia tetap terpaku dengan tatapan kosong dan membisu. Telah lama aku ingin bertanya, tapi selalu kuurungkan niatku itu tiap kali aku melihat pipinya basah karena air mata. Tapi hari ini, aku menggenapkan niatku itu.
“Apa yang kamu lakukan disini, Nona?”
Beberapa detik berlalu tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Aku menghela napas panjang dan hampir saja putus asa. Tapi sesaat kemudian, jawaban itu akhirnya keluar dari bibir yang entah sudah berapa lama setia membisu.
“Tidak ada”. Jawabnya singkat. Ya, sesingkat itu. Aku masih belum mau menyerah.
“Lantas untuk apa kamu selalu menghabiskan senjamu di tempat ini? Di balik jendela ini? Bukankah setiap tindakan selalu memiliki tujuan?” Lagi-lagi aku harus menelan pil pahit, menunggu jawaban yang keluar dari bibirnya. Sampai beberapa lama, masih belum ia menjawabnya. Sampai aku melihat pipinya yang kemerahan meneteskan air mata. Tetap dengan tatapan kosong ke depan, dia menyeka air mata itu dengan jari-jemarinya. Tak kulihat wajah yang panik, wajah itu tetap menegaskan sisi paling dingin sekaligus paling kuat yang dia miliki.
“Aku hanya menanti janji seseorang. Dan membuktikan janjiku.”
Aku bisa mendengar ada kesediahan dari bibirnya yang bergetar saat ia mengucapkan itu.
“Apa yang ia janjikan padamu, sampai-sampai begitu inginnya dirimu menagih janji itu?”
“Tidak ada. Hanya sebuah kepulangan.”
“Lalu apa yang kau janjikan padanya?”
“Tidak ada. Hanya kesetiaan untuk menunggunya pulang.”
Aku mulai memutar otakku. Takjubku dalam hati ada gadis yang setegar ini,maksudku ia mampu menutupi sisi paling rapuh dari dirinya dengan ketegaran yang belum tentu orang lain dapat lakukan. Ya, dia serapuh itu, ternyata.
“Untuk apa dia pergi?”
“Tidak tahu.”
“Lantas kapan dia akan pulang?”
“Tidak tahu.”
“TIDAK TAHU? Lalu untuk apa kamu melakukan semua ini? Menghabiskan waktumu untuk kepulangan seseoarang yang bahkan kamu sendiri pun tidak tahu untuk apa dia pergi dan kapan akan pulang. Menurutku, menunggu saja sudah sanagt menyakitkan, telebih lagi harus menunggu di atas segala ketidakpastian.”
“Rendahkan suaramu. Aku tidak tuli hanya untuk mendengar suaramu itu.”
“Maaf.”
“Sebelum dia pergi, dia berjanji akan pulang. Dia memintaku untuk tetap menunggunya, persis di tempat dimana terakhir kali dia melepasku pergi.”
“Dan kamu menerima mentah-mentah begitu saja sebuah janji yang kosong?”
“Tidak tahu.”
“Bahkan dirimu sendiri saja enggan untuk menjawab.”
“Aku hanya melakukan apa yang aku mampu. Satu-satunya yang aku mampu hanyalah ini. Menunggu. Persetan dengan segala ketidak pastian yang kamu sebutkan tadi.”
“Mengapa saat itu kau tidak menahannya saja, memintanya untuk tetap tinggal, disini, bersamamu?”
“Itu hal yang enggan aku lakukan. Kekuatan terbesar seseorang ada saat ia mampu menahan keinginannya dari menahan perginya seseorang.”
“Mengapa tidak kau coba untuk menemuinya?”
“Karena dia tidak memintaku untuk itu.”
“Lalu kenapa kamu hanya berdiri di balik jendela ini tiap senja hingga petang saja?”
“Dia berjanji kala langit jingga tengah memeyungi kita berdua. Dan dia pergi, seiring kepergian matahari di ufuk barat sana.”
“Lantas jika seseorang yang kamu tunggu itu tak pernah kembali?”
“Dia pasti kembali.”
“Kalau dia ternyata  kembali, tapi tidak untuk menemuimu…?”
“Itu artinya dia belum kembali. Karena kepulangannya pasti untuk menemuiku. Untuk menepati janjinya dan membuktikan janjiku.”
“Sampai kapan kamu akan disini?”
“Sampai dia pulang untuk menjemputku.”
Aku diam sejenak, tak habis pikir adanya perempuan yang memiliki keteguhan hati seperti dirinya. Ketabahan yang benar-benar mampu menggetarkan hatiku.
“Mengapa kamu sesabar ini?”
“Aku tidak sesabar itu.”
“Lalu apa namanya?”
“……”
“Mengapa dia sangat berarti bagimu? Sampai-sampai kamu mau menghabiskan sisa waktumu untuk menunggunya?’
“Tidak ada alasannya. Bagiku cinta tidak butuh alasan. Kalau cinta ya cinta saja. Dahulu sekali, aku pernah begitu bodoh menyakitinya. Meninggalkan dia yang memberikan seluruh hidupnya hanya untuk orang sepertiku. Maka aku tidak akan mau mengulanginya lagi. Ini hanya salah satu bentuk perjuanganku untuk ia yang pernah berjuang untukku.”
“Tapi sekarang dia yang menyakitimu.”
“……”
“Kenapa tidak kau tinggalkan saja dia? Lupakan segala janji-janji kosongnya dan membuat kebahagiaanmu sendiri?”
“Kamu orang kesekian yang memintaku untuk itu. Tapi dengan segala hormat, aku menolaknya.”
“Mengapa?”
“Mengapa kamu selalu bertanya ‘mengapa’? apa setiap keputusan yang aku ambil harus kau dengarkan alasannya?”
“Tentu. Karena menurutku setiap apapun pasti memiliki alasan. Dan kaupun mempunyai itu.”
“Tidak ada. Satu-satunya alasan mengapa aku masih saja menungguinya, karena aku mencintainya. Klasik. Tapi itu nyatanya. Berhentilah bertanya ‘mengapa’. Karena beberapa pertanyaan akan lebih baik untuk tidak diketahui alasannya. Dan pertanyaan ‘mengapa’, hanya untuk mereka-mereka yang telah habis rasa percaya.”
“Pertanyaan ‘mengapa’ pun bisa meluruskan sesuatu yang keliru. Seperti pola pikirmu itu.”
“Maksudmu?”
“Ah, tidak ada maksud apa-apa.”
“Baiknya kau pergilah. Tak usahlah kau campuri urusanku. Terima kasih sudah bertanya.”
“Kau tersinggung rupanya? Maafkanlah mulut lancangku ini, Nona.”
“Baiknya kau pergilah. Aku terusik dengan kehadiranmu. Tinggalkanlah aku disini sendiri.”
“Kau rupanya belum sadar ya, kalau aku orang yang selalu memperhatikan kebiasaanmu ini. Di bawah pohon sana, tempatku bercerita pada diriku sendiri.”
“Untuk apa kau melakukan itu? Tidak sopan. Membuntuti orang tanpa seizinnya.”
“Karena aku ingin tahu alasanmu selalu berdiri di balik jendela ini.”
“Untuk apa kau mau tahu segala urusanku? Kita pun tak saling kenal sebelumnya.”
“Karena aku menaruh hati padamu, Nona. Terlalu berharga dirimu menghabiskan waktu disini, hanya untuk dia yang telah pergi.”
“Tidak ada hak untukmu mengatakan itu.”
“Dan tidak ada hak untuk orang yang telah meninggalkan mu itu memperlakukanmu seperti ini. Waktumu terlalu berharga. Berhentilah menyia-nyiakan waktumu itu.”
“Kau telah melakukan kesalahan yang fatal. Pergilah. Aku disini bukan untuk mendengar guraumu itu.”
“Sadarlah.”
“Pergi kataku.”
“Sering kali karena terlalu fokus pada apa-apa yang sebenarnya semu, kita justru mengabaikan apa-apa yang sebetulnya nyata. Hati memang cenderung berpihak pada ia yang lebih menyakiti, entah mengapa.”
“…….”
“Seperti yang telah aku bilang tadi padamu di awal. Kau terlalu bodoh menunggu kepulangan seseoarang yang sebenarnya tak menjanjikan apa-apa padamu. Dan aku terlalu bodoh, karena tak pernah mampu membebaskan orang yang ku kasihi dari pikirannya yang keliru. Kita memiliki kesamaan, Nona. Kau menunggunya pulang di balik jendela. Aku menantimu sadar tanpa mampu berbuat apa-apa.”

28 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar