Teruntuk Tuan yang tak habis ku cintai. Tuan, disini aku gigil menahan rindu tak berkesudahan. Pilu hatiku lantaran kau tak jua kunjung pulang.
Tuan, jikalau tabir pemisah antara kami berdua tak hendak mengalah, beratkah hatimu berjuang tuk kebersamaan yang hakiki, yang diisi hanya antara kau dan aku di dalamnya. Sudikah dirimu korbankan segala, tuk mempersatukan apa-apa yang tlah lama terpisah? Aku dirundung lelah tiap kali malam tiba mengusik batinku, pun resah tiap kali pagi menyapa yang menyayat bak sembilu.
Tuan, kiranya kau rasakan apa yang aku rasakan mengapalah tak jua kau temui orang yang kau sebut sebagai rindu itu? Apalah lagi yang hatimu tunggu?
Teruntuk Tuan yang kerap hadir dalam mimpi tanpa permisi. Kau katakan, bahwa aku terlalu berharga untuk kau lepaskan. Lantas kini, mengapa lah tak jua hendak kau penuhi janji. Aku pun tak dapat selamanya mengabdi dalam menanti. Kekal bukanlah milik manusia yang lemah sepertiku, lantaran ada takdir Tuhan di dalamnya.
Teruntukmu Tuan, yang tak habis ku lantunkan namamu dalam tiap sujudku menghadap sang Ilahi Robbi. Betapapun lupa ingatanmu atas diriku, hatiku tak kunjung mau beranjak. Aku rupanya perlu diyakinkan sekali lagi kalaupun kita tak pantas bersama. Maka lah aku ceritakan segala resahku pada Sang Ilahi, kiranya Ia mentakdirkan kita berdua. Karena berkata padamu pun aku tak mampu, inilah caraku yang paling mulia, mengukir namamu dalam doa-doa seraya memantapkan hati sekiranya hal terburuk terjadi.
Tuan yang menggetarkan seisi hati saya tiap ku mendengar namanya. Berkenankah seandainya aku ingatkan kembali lupamu agar tak hilang segala ingatan itu? Yang hampir habis ditelan waktu lantaran tak kunjung temu. Ingatkah ketika kau sapukan airmataku lantaran tak sanggup menahan pilu melepas kepergianmu? Bergetar hatiku tiap kali tak sengaja sekejap mengingatnya. Ingatkah masih dirimu saat peluk demi peluk lantaran hari itu semakin dekat. Tentang dua hati yang enggan saling melepas, mencoba taklukkan lara dan nestapa yang kala itu setia memeluk, semata membuktikan bahwa kita terlalu tangguh tuk dipisahkan semesta.
Sudikah masih ingatanmu mengingat bahwa hari-hari pernah kita lewati begitu indahnya. Mencerahkan segala langit yang mendung, mencerahkan mentari yang terkurung murung. Mengubah tetes demi tetes hujan menjadi butir-butir salju. Semudah itu kita mengubahnya, sesuatu yang dirasa tak mungkin lantaran hanya dirasa oleh kita berdua. Masihkan Tuan nun jauh disana menyimpannya? Sesuatu yang ku simpan apik disini, lantaran terlalu indahnya untuk ku tumpukkan sebagai sesuatu yang hanya pernah.
Tuan yang memenuhi tiap-tiap dasar hati. Aku seringkali berdoa kepada Sang Ilahi Robbi kiranya Beliau menghadirkan sosokmu dalam bunga tidurku. Bahwasanya tiap kali ku dirundung kelu lantaran rindu, aku dapat menjumpaimu disana untuk mengadukan segala rasaku kepada sosok yang kujumpai itu, lantas ia membiarkan kepalaku rebah di bahunya, menceritakan segala derita, lalu merangkulku lantaran tangisku dan tangismu memecah. Begitu indahnya bunga tidur yang ku jumpai, lantaran itulah, sebab aku tak dapat menjumpaimu dalam raga, sekiranya dalam bunga tidur pun menjadi pelipur lara yang setia.
Teruntuk Tuan yang tak jua pergi dari ingatan. Sekiranya kita berpisah ribuan jauh jaraknya, namun hati rupanya tak miliki jarak terjauh. Lantaran aku masih merasakan firasat demi firasat tentang dirimu yang pun merindu di belahan sana. Tentang hatimu yang terus inginkan sebuah pulang. Jikalau luasnya lautan dapat memisah jarak langkahku dengan langkamu, namun tak dapat memutus firasat antara dirimu dengan hatiku. Bahwasanya mungkin itulah letak ajaibnya dua cinta yang sering dikatakan tetua dahulu, yang rupanya kini tengah kita rasakan pahit pun manisnya.
Teruntuk Tuan yang sangat saya cinta. Sadarkah dirimu bahwasanya aku terlalu menaruh percaya kepada sosokmu yang tlah menjauh raganya. Jika tanpa keyakinan yang tak mungkin aku sudi menggantungkan harapan padamu, sosok rindu yang kerap terpaksa teredam. Tak mungkin kiranya aku menaruh asa masa depan pada sosok yang jikalau belum yakin benar ku cinta.
Tuan, malam-malam kini kerap semakin kejam mengurungku dalam gigil, memenjarakan ingatan-ingatan tentang luka lama yang tak lagi ingin ku ingat sebagai asa atau apapun namanya. Aku kerap diserang cibir yang berkata bahwasanya aku bak sungai yang mengharap samudera, bahwasanya aku terlalu bodoh kata mereka memelihara luka dan menanti orang yang tak lagi kelihatan raganya. Bahwasanya mereka menyuruhku berbuat apa-apa yang mereka kehendaki, apa-apa yang mereka yakini. Sedang aku hanya bisa tertunduk menahan malu seraya mayakinkan diriku bahwa derita ini takkan setia membelenggu. Ku tutup sajalah telingaku, agar tak dapat lagi mereka menyakiti hati yang memang tengah nestapa.
Tuan, aku kerap membayangkan bahagia-bahagia kecil yang kelak tercipta jikalau kau sampai di tempatku. Mungkin akan tak banyak kata yang akan ku kata. Hanyalah pelukan-pelukan yang tercipta tuk ucap segala rasa yang tak berdaya aku lisankan.
Tuan, Tuan taukah bahwasanya aku mencoba mencintai apa-apa yang kau suka betapapun aku tak menyukainya. Bahwasanya aku tak hanya ingin mencintai keelokanmu saja melainkan berusaha menyukai apa-apa yang menjadi kurangmu. Maafkanlah aku, jikalau kini aku hanya mampu memelukmu dalam doa-doa. Janganlah berlelah hati, semua akan ada masanya jua. Barangkali semesta menginginkan kita bekerja lebih keras lagi, maka biarlah kita selesaikan urusan kita seraya membiarkan semesta menepati janjinya.
Tuan, berdoalah kepada Tuhanmu agar kita segera dipertemukan waktu. Kelak di langit kan terbingkai doa kita berdua dan berwujud menjadi nyata. Tak banyak pun inginku. Hanyalah sebuah temu agar aku dapat memulai rindu yang baru. Kalau-kalau kelak kau kan pergi lebih lama lagi aku tak terlalu merasa nestapa mengharap asa. Sebab aku pun cukup mengerti bahwasanya kau perlu meraih cita-citamu sebagai lelaki.
Tuan, jikalau Sang Ilahi Robbi mengizinkan kita tuk lebih lama lagi, aku tak berkeberatan jikalau mesti menyimpan rindu lebih panjang lagi. Lantaran janjiNya tak pernah ingkar, tak perlulah aku meragu akan takdirNya. Sebab waktu pasti mempertemukan tiap hati yang ditakdirkan bersama. Aku kan menabahkan hatiku tuk menjaga segala apa yang kau katakan, sekiranya saja kau memintaku untuk itu, Tuan.
Tuan, terkadang kala aku sedang terduduk mengenang semua, kau pun hadir dalam bentuk yang lain. Ingatan tentang aromamu yang kerap selewat datang bersama angin. Aku sangat menyukai jikalau ingatan tentang aromamu itu datang walau sekejap, sebab aku dapat rasakan kembali hadirmu yang menjelma lewat sela-sela angin dengan cantiknya.
Teruntukmu Tuan, aku tak pernah mampu melenyapkanmu dalam ingatan. Sehebat apapun caraku berusaha, tentu ada sajalah segala yang mengingatkanku kembali. Semesta mungkin tak ingin jikalau kita terlupa, maka ia tak izinkan aku lupa barang semenit saja. Maka kiranya sebab itu, lekaslah kemari, agar menyatakan apa-apa yang tertinggal tersamar. Agar abadilah segala rasa yang belu berani ku sebutkan namanya, hingga nanti Sang Ilahi mengizinkan waktunya tiba. Teruntukmu Tuan yang ku cintai dari jauh, peliharalah rasamu layaknya aku menjaga rasaku. Tetaplah berjuang sebab ada setiap aku dalam doa.
Tertanda, aku yang berada sekian jauhnya dari tempatmu berada.
29 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar