Kamis, 28 April 2016

Perihal Kehilangan

PERIHAL KEHILANGAN

Hilang. Ataupun Kehilangan. Saat usia saya masih 10 tahun saya pernah kehilangan, satu tempat pensil berbentuk anjing kesayangan yang berisi pensil, penghapus pun pulpen serta segala isinya. Tentu karena keteledoran saya, maletakkan dan membiarkannya di sembarang tempat. Tentu selang beberapa hari saya sudah menggantinya dengan tempat pensil yang baru. Rupanya kesedihan saya lantaran kehilangan tempat pensil kesayangan hanya selang beberapa hari, setelah saya mendapat tempat pensil yang baru pemberian Ayah saya, nyatanya saya dengan mudah melupakan si Tempat Pensil Berbentuk Anjing itu.
Selang 8 tahun, saya kembali..merasakan kehilangan. Kehilangan yang sama. Perginya sesuatu yang telah lama menemani dan terlanjur menjadi kesayangan. Tapi bukan lagi tempat pensil ; berbentuk anjing, kucing, kambing, atau bahkan cacing. Saya kehilangan seseorang. Bukan hanya seseorang, saya pun kehilangan rasa, asa, entah apa lagi yang belum kelar saya sadari semua. Bukan seperti saya melupakan si Tempat Pensil berbentuk Anjing kala usia saya 10 tahun, saya kesulitan untuk melupakan seseorang yang telah pergi. Atau, seseorang yang telah memilih pergi. Saya begitu bodoh dalam hal melupakan seseorang itu. Dengan jarak yang sekian jauhnya pun dia yang tak lagi terdengar suaranya, seharusnya saya dapat dengan mudah melupakan. Seharusnya. Seseorang itu bukanlah tempat pensil yang dapat dengan mudah diganti dengan tempat yang baru saat tempat pensil yang lama hilang. Pun kenangan di dalamnya bukan batang pensil, penghapus dan pulpen yang dapat dengan mudah dibelikan oleh Ayah saya. Bukan.
Makna ‘Kehilangan’ kala saya berusia 10 tahun dengan saya berusia 18 tahun kini, sungguh sangat jauh berbeda. Terlalu rumit, telalu sulit. Saat usia saya 10 tahun, saya begitu mudah menghilangkan. Dan kini, saat 18 tahun usia saya, saya begitu mudah kehilangan. Kata ‘Hilang’ tak lagi sederhana di kepala saya. Bukan lagi tentang tempat pensil berbentuk anjing berwarna oranye. Melainkan seseorang, yang tak ingin saya sebutkan namanya.
Saya kehilangan, entah sesuatu atau seseorang, yang pernah sebegitu saya perjuangkan. Saya tidak lagi meletakkannya sembarangan karena keteledoran saya seperti saat saya berusia 10 tahun, melainkan saya letakkan seseorang itu di tempat yang barang kali tak dapat dengan mudah terjamah orang lain. Di tempat dimana saya mengira disanalah seseorang itu akan tinggal. Tetapi nyatanya, seseorang itu menutup kembali pintu yang telah ia buka. Berbalik arah lalu melangkah pergi. Saya yang berdiri di ambang pintu itu, hanya dapat melihat punggungnya yang bidang, tempat saya bersandar kala hati tengah tak menentu, menjauh dari tempat saya berdiri. Saya bodoh. Seharusnya saya menarik tangannya dan memaksanya kembali. Tapi saya memilih diam, memanggilnya dalam tangisan. Karena kekuatan paling tangguh ada saat kita mampu menahan diri dari menahan perginya seseorang. Begitu katanya.
Dan saya begitu kehilangan. Saat hari-hari tak lagi sama. Saat saya harus menata kembali dan membuang segala hal yang telah pergi meninggalkan. Awalnya saya pikir, saya kehilangan, seorang diri. Tapi nyatanya, kamu pun merasakan kehilangan yang sama. Saya kehilangan seseorang yang saya cintai. Sedang kamu, kehilangan cinta yang teramat besar yang telah kamu paksa menggugurkan diri sebelum sempat berbunga.    
5 Februari 2013
(Ditulis 3 tahun lalu, saat sedang hangat-hangatnya merasakan patah hati)

Rabu, 27 April 2016

Cerita Minggu-Minggu Penuh Perjuangan

Cerita Minggu-Minggu Penuh Perjuangan

Belakangan ini, atau lebih tepatnya dua minggu ke belakang, saya dihadapi dengan situasi-situasi yang sedikit menguras energi pun emosi. Batin saya sebagai perempuan, kerap mengekspresikannya dengan tangisan. Sendiri, ataupun di hadapan keluarga dan teman.
Saya merasa Allah sedang sayang-sayangnya dengan saya, sedang memberikan perhatiannnya dengan penuh ke arah saya. Allah begitu baik. Saya senang berprasangka baik kepadaNya.
Kalau boleh digambarkan, saya seperti dihadapkan kepada batuan besar di hadapan saya, pun di atas pundak saya. Berat. Membuat lelah. Ingin menangis. Tapi tidak ada pilihan lain selain terus berjalan ke depan. Minggu-minggu terberat yang cukup membuat mata saya sedikit panas dan membangkak pada pagi harinya karena terlalu banyak atau terlalu lama menangis. Ah, cengeng. Iya, tapi adakalanya diri juga merasa lelah dan ingin menumpahkan segala isi kepala.
Berada di bawah tekanan yang mengharuskan saya ini dan itu. Terjebak dalam situasi sulit, kesulitan yang sulit yang mengharuskan saya harus tetap bersabar dan sabar. Karena hanya itu pilihan yang saya miliki. Ketika sehabs solat dan berdoa, hanya tangis yang mampu saya keluarkan  tanpa kata-kata, terlalu sesaknya dada saya, sambil menutup mata dengan mukena saya bayangkan ada Allah di hadapan yang senantiasa memeluk. Tanpa kata pun, saya yakin Allah mengerti. Allah Maha Mengerti.
Dihadapkan oleh situasi sulit, mungkin ini bagian dari perjalanan hidup saya di usia 21 yang bisa dikatakan sudah dewasa. Allah ingin menggembleng saya supaya tidak lagi cengeng, tidak lagi mudah menangis. Wait, tidak ada yang salah dengan mudah menangis, itu tanda bahwa hatimu masih bekerja dengan baik, bahwa hatimu dimiliki oleh pribadi penuh simpati pun empati. Tidak ada yang salah, hanya harus diseleksi dan diberi pengarahan tentang tempat untuk menangis yang baik. Panjangkan durasi berdoamu, menangislah sekencang-kencangnya dalam sujud. Bahwasanya pendengar yang baik itu ada begitu dekat denganmu, relakamu temui tiap waktu siang dan malam, yang tidak akan mengkhianatimu di belakang, atau membocorkan rahasiamu kepada yang lain. Dialah Yang Sang Maha. Dialah pendengar yang baik. Saya sedang dan masih terus berusaha menikmati tiap-tiap episode pun fase-fase kehidupan yang tak indah. Karena begitulah seharusnya hidup. Perlu adanya sedikit tangis, agar saat kamu bahagia, kamu tidak lupa, bagaimana pedihnya rasa sakit.
Setidaknya dalam kesedihan dan situasi tidak menenakkan tersebut, saya masih punya tempat untuk saya berkeluh kesah. Terima kasih, yaa Allah. Semoga cinta saya terus seperti ini sampai akhir, terus membumbung tinggi menembus langit.

27 April 2016
(seharusnya ngerjain soal UTS, tapi malah nulis blog ( )
.

Rabu, 13 April 2016

Patah hati itu, nikmat.

Hey world, welcome to my new blog and enjoy my arts.
Ini adalah blog ketiga yg saya buat, setelah dua blog pendahulunya terbengkalai sampe lupa password. Huhu.
Ga ada konten spesifik yang saya tulis disini, semuanya hanya berdasarkan apa yang saya senangi randomly sih sebenarnya. Kadang tulisannya berisi yang sedih-sedih sampe yang menyayat-nyayat hati, kadang juga jadi yang bahagia-bahagia kayak anak abg lagi jatuh cinta, tapi kadang juga bisa aja saya ngereview make up yang sedang saya suka. Saya anaknya memang agak random dan absurd, tapi hati saya sudah pasti dijatuhkan oleh seseorang yang belum ingin saya sebutkan namanya. #curhurt.
Dua tulisan pertama saya, saya tulis tahun 2013, kurang lebih dua tahun yang lalu. Kenapa kok galau banget sih tulisannya? Mbaknya lagi sedih banget ya? Jawabannya, iya. :) (fake smile that I really enjoy to use)
Seperti segala sesuatunya yang selalu memiliki sebab-akibat, begitupun tulisan saya yang sebut tadi di atas. Itu ditulis pada saat-saat terkelam dalam hidup saya. Lebay ya, tapi emang gitu kenyataannya. Hiks T_T
Mau tau ceritanya kayak apa? Well, walaupun ga ada yang mau tau, saya akan tetep cerita hohoho :D
Selama 21 tahun dalam hidup saya, saya pernah dibuat jatuh (jatuh cinta, jatuh sakit, jatuh literally jatuh) pada satu orang yang salah. Selama tiga tahun masa remaja saya mau ga mau, suka ga suka, harus banget ada cerita tentang itu.
Pasti pusing ya karna saya ceritanya muter-muter hehe.
Oke, saya beneran mau cerita. Jadi.....jujur aja saya males banget kalau harus ceritain tentang ini karna ini masuk dalam black list dalam hidup saya. Tapi saya udah janji kan ya mau cerita. Oke, serius kali ini saya bakal ceritain. Jangan pada ngerasa didongengin apalagi sampe tidur ya :D
Well...
Pada suatu hari, (no, ini kayak mau ngedongeng beneran)
Intinya, waktu itu saya baru aja masuk SMA di salah satu sekolah yang kalian ga perlu tau saya sekolah dimana hoho. Dan, ada seseorang yang jatuh suka sama saya (ciyeeee, seneng ya, bentar, jangan seneng dulu, karna kesananya isinya cuma sedih aja. Jangan pada seneng dulu :))
Seperti abg tanggung pada umumnya dan pada zamannya ( sekitar tahun 2010) dan saat itu belum ada whatsapp, Line, bbm pun belum sepopuler tahun2 berikutnya, si Masnya ini (sebut aja dia si Mas. Saya males nyebutin namanya, harus minum obat anti alergi dulu), iya si Masnya ini nelpon saya, mengenalkan diri dan bla bla bla yang detail-nya saya udah lupa hehe. Dan pada saat itu juga, saya adalah sepucuk anak gadis yang belum pernah mengenal cinta #eaa (((SEPUCUK))), dan bisa ditebak saat itu saya belum pernah punya pacar ( eh lupa, ternyata sampe sekarang :( ), belum pernah merasa dicintai sampai segitunya, belum pernah merasa diperjuangkan sampai segitunya, dan belum pernah-belum pernah yang lainnya. Seiring waktu berlalu, singkat cerita saya mulai jatuh suka juga sama si Masnya ini. Huffff :(
Di tengah-tengah perasaan saya yang lagi terbang setinggi-tingginya itu, ternyata oh ternyata, (oke disini kisah sedih dan ga ngenakinnya di mulai) (maap spoiler), si Masnya ini nembak temen saya dong. Yha langsung bikin ilfeel ga sih sama laki yang begitu (Masnya zaman sekarang kalo mau terlihat ganteng itu bukan dengan cara sok2 jadi playboy wanna be dengan mengoleksi banyak gebetan, tapi prestasi yg dibayakin dan dijadiin koleksi).
Seiring berjalannya waktu, saya yg saat itu masih imut-imut dan unyu-unyu, dan merasa belum siap dengan problematika kehidupan seperti ini pun mulai galau, dan mulai menjauhi masnya. Tapi ternyata, setelah si Masnya ini ditolak mentah-mentah sama teman saya, si Masnya ini pun mulai modusin saya lagi (duh Mas...Mas...receh banget sih hidupnya). Dan dengan segala ke-ilfeel-an yang sudah melekat dan tertanam dalam sanubari, saya pun menolak Masnya, berkali-kali :). (Sabar ya Mas)
Panjang banget pemirsa ceritanya kalau saya jabarin disini, tiga tahun di hidup saya itu cuma tentang dia doang. Kasian ya
Itu waktu kita masih kelas X. Dan pas naik kelas XI, ceritanya udah beda lagi walaupun tokohnya masih sama dia-dia juga. Heu.
Waktu kelas XI itu saya mulai galau karena ternyata saya kayaknya baru sadar kalau saya memiliki perasaan yang gabiasa sama si Masnya ini. (Plis Mas jangan geer, ini udah beberapa tahun silam waktu saya khilaf). Singkat cerita, kami kembali dekat, tapi saya kembali nolak Masnya. Hehehe. Bukan, bukan saya sok cantik atau mau dikejar-kejar, tapi kayak ada aja dari tingkah Masnya yg ngebuat saya jadi ilfeel. Huhuhu
Nah, di tengah segala kegamangan itu, ternyata si Masnya ini deket lagi sama teman saya, dan akhirnya pun kali ini Masnya ga ditolak, teman saya nerima Masnya dan mereka pun berdua jadian. Dan saya pun galau lagi plus ngerasa ga ngerti sama perasaan saya sendiri maunya apa. Hehe. Kalau mau tau, itu adalah saat-saat terburuk dalam hidup saya. Sepatah-patahnya hati saya yang pernah saya rasain dalam hidup. Kalau mau tau lagi, saya saat itu berubah jadi pribadi yang nyebelin, cengeng, mudah marah, mudah tersinggung, baperan, pokoknya ga banget deh. Waktu itu saya inget banget, saya sampe jatuh sakit dan ga masuk sekolah selama beberapa hari. Pokoknya kasian deh kayak orang ga ada semangat hidup, dateng ke sekolah cuma bengang-bengong terus nangis. Sumpah, saya aja males banget cuma buat nginget-nginget ini pun :( selain itu nilai-nilai pelajaran saya pun menurun drastis dan terjun bebas karena saya mulai males belajar, males ngerjain PR, dan sering bolos. Huhu. Agak kesel dan ngerasa bodoh sih, karena saya sampe segitunya sedangkan si Masnya ini bahagia-bahagia aja sama pacar barunya :)
Tapi itu ga lama kok, naik ke kelas tiga, saya mulai menata hidup saya lagi, mulai membuka lembaran baru dengan pribadi baru yg saya mencoba untuk lebih baik dari masa-masa kelam yang kemarin itu. Saya mulai berbaur lagi dengan teman-teman, dan mencoba berdamai dengan keadaan. Hubungan saya dengan teman saya pun, lambat laun mulai membaik dan saya mencoba memaafkan segalanya dan melapangkan hati saya. Segampang itu? Nggak :) butuh waktu dan kemauan yang tinggi dari dalam diri sendiri untuk berdamai dengan keadaan. Berkali-kali saya harus bertengkar dan silang pendapat dengan anak kecil yang ada di kepala saya. Yang saya rasakan saat itu adalah damai, tentram, dan saya juga ngerasa punya semangat baru dalam hidup. Ga perlu cuma karena satu laki-laki yang salah dan ga banget, merusak pertemanan yang jauh lebih berharga. Yaudah, pokoknya saya udah mengikhlaskan segalanya dan berasa lahir kembali dengan pribadi dan semangat yg baru. (Gilaaa, lebay abisssss).
Beberapa bulan setelah kenaikan kelas XII itu, salah satu teman saya bilang kalau si Masnya ini putus. Saya ga tau apa yang saya rasain. Satu yg saya inget, datar banget saya ngejawab pernyataan teman saya itu, cuma dengan "oh ya?" Udah, gitu doang. Saya benar-benar udah ga mau tau lagi dengan urusan si Masnya ini dengan siapapun. Hohoho. Walaupun sebenernya tetep ada terasa rasa-rasa yang ga mampu saya jabarkan itu, tapi saya ga mau jatuh lagi ke lubang yang sama, terlebih yang ngejatuhin orang yang sama pun. Makasi la yaw.
Tapi...ternyata sifat genit si Masnya ini susah hilang ya. Tetep aja usaha mengusik kebahagiaan saya yang hakiki. Huuuu. Dan singkat cerita lagi, waktu malam perpisahan SMA di salah satu tempat, si Masnya ini bbm salah satu teman saya mau minta foto bareng saya untuk kenang-kenangan di kampung halamannya (saya ceritain karena lulus SMA dia balik kampung ke hometown-nya) (Dan kenapa si Masnya malah bbm teman saya bukannya bbm saya aja, karena saat itu hp saya Nokia) wkwkwk. Dan ya, dengan perasaan sedikit geer gitu sih ya, saya mau diajak foto, dan kocag banget karena harus ngumpet-ngumpet takut ketauan sama seorang oknum gitu hehe. Dan jadilah kita foto, terus ngobrol-ngobrol sebentar. Yang entah kenapa kejadian malam itu tuh bikin saya gagal move on, perjuangan saya move on berbulan-bulan, runtuh gitu aja. Ih kzl.
Dan udah bisa ditebak dong ya, kalo si Masnya ini mulai ngedeketin saya lagi dan modusin saya lagi dengan modus-modus kelas tempenya itu. Hih. Awalnya itu si Masnya minta nomer saya lagi ke temen saya, dan mulai sms-in saya lagi. (Iya, waktu itu tahun 2013 dimana mayoritas abg udah pake smartphone, saya masih pake Nokia yang cuma bisa buat sms-an) hehe. Dan ya, si Masnya ini ngejanjiin saya mau ketemu sebelum si Masnya berangkat pulang kampung. Predhhhh
Tapi ya janji tinggal janji lah ya, bisa ditebak si Masnya ini orangnya ga konsisten dan ga bisa pegang omongan :) jadi cuma php aja deh. (Kurang-kurangin Masnya). Saya inget waktu itu hari pengumuman kelulusan di sekolah, dan alhamdulillah saya lulus :D yeeay. Malamnya itu si Masnya ini janji mau bilang sesuatu di sekolah. Saya nunggu dong, dari rumah niat saya berangkat sekolah ini ya mau denger pernyataan si Masnya (disamping liat pengumuman UN) di sekolah mata saya celingak-celinguk, ngobrol sama temen pun ga konsen, karna raga di sekolah tapi pikiran melayang-layang entah kemana, dan ternyata si Masnya ga dateng :) saya semacem dilatih menelan kekecewaan sejak dini gitu. Nah abis gitu, saya dan ciwi-ciwi kelas saya itu pergi karokean di salah satu mall di pinggiran Jakarta, ceritanya ngerayain kelulusan gitu deh. (Gaya banget anak SMA) :D Sepanjang karokean itu saya ga fokus karena saya terus kepikiran si Masnya. Hufff. Selalu si masnya ini menjadi perusak suasana. Selesai karaoke sekitar jam 6 dan kita solat maghrib dulu, habis itu pulang. Dan si Masnya ini menawarkan diri untuk jemput saya di salah satu jalan. Ya berhubung udah malem dan saya mau juga (dan masih berharap si Masnya ini nepatin janjinya untuk ngomong sesuatu) jadilah kita janjian dan saya diantar pulang sama si Masnya. Saya berharap si Masnya ini mau cerita tentang apa yg mau dia bilang di sms itu ke saya. Tapi ternyata yang dibahas sepanjang perjalanan itu cuma seputar UN tanpa sedikit pun si Masnya ngebahas permasalahan yg sebenernya. Dan saya pun ga berani nanya ke si Masnya. Pikiran saya waktu itu sih cuma takut ngerusak suasana aja. Hahaha.
Hari-hari berikutnya tetap ga ada kejelasannya dari si Masnya ini kapan mau bertemu. Oh, ada cerita lucu sebelumnya yang lupa saya ceritain di awal. Jadi, waktu itu sore-sore dan hujan-hujan temen-temen angkatan SMA saya melakukan ritual ala-ala anak Indonesia gitu, selesai UN coret-coret baju pake pilox. Hehehe. Ya seru, karena seluruh angkatan (angkatan saya emang ga banyak, sekitar 75 orang aja dan ga semuanya saat itu hadir) mereka (iya, mereka. Karena saya ga ikutan coret-coretan. Hiks. Sedihhhhh) hujan-hujanan sambil coret-coretan baju. Kebayang dong ya...saat itu saya ga ikutan coret-coretan karena ya cupu banget sih mikirnya, saat itu hujan dan pasukan antibodi di dalam tubuh saya ini tergolong males, jadi gimana-gimana sedikit besokannya bisa langsung sakit. Jadi saya cuma di dalam aja sambil makan mie ayam. Dan kebiasaan saya waktu SMA itu selalu bawa-bawa sapu tangan setiap hari, ga jelas fungsinya apa, tapi ingin dibawa aja. Hehe. Dan, you know what? Waktu itu (tanpa sadar), sapu tangan saya jatuh ke lantai saat saya keluar buat pesen mie ayamnya. Daaann, bersamaan dengan si Masnya ini masuk ke ruangan lalu mengira sapu tangan saya lap lantai yg lantas dijadiin lap untuk kakinya yang kotor kena hujan. Euwh..jorok banget ga sih :(
Singkat cerita lagi, momen bertemu itu saya juga jadiin sebagai alasan saya minta gantiin sapu tangan saya yang udah ga suci lagi itu huhu. Tapi ya rencana tinggal rencana lah ya, si Masnya ini bener-bener ga ada niatan untuk ketemu dan cuma mau ngerjain saya aja. Sampe minus beberapa hari sebelum si Masnya ini berangkat, ga ada kejelasan, saya pun mulai bete, cape, bosan, kzl, zbl, dll, dkk.
Akhirnya, si Masnya ini nemuin saya berbarengan dengan acara kelas saya yang mau kasih kejutan ulang tahun ke wali kelas. Sumpah, saya udah bete banget sebenernya karena serasa dibohongin dan ingkar janji terus si Masnya ini. Rasanya dari yang penasaran banget, sampe yang flat aja gitu yang terserah aja udah. Itu pun si Masnya dateng udah sore banget, dan cuma bantuin nganter saya sampe ke rumah wali kelas saya. Dan drama-drama dia pun dimulai. Ga ada kejelasan sama sekali. Si Masnya ini cuma pamit mau pergi habis itu udah. Saya sedih, bete, kesel, kecewa banget waktu itu. Tapi mau protes pun ga bisa. Yaudah cuma bisa pasrah aja.
Dan itulah awal dari segala kisah perjuangan move on saya. Kecewa dan sendiri. Ditinggal pergi dengan segala perasaan yang campur aduk. Si Masnya ini tau, sedari awal kalau bagaimanapun ga akan bisa mengembalikan semuanya, tapi si Masnya ini (membodohi) saya dengan harapan-harapan yang saya terima dengan cuma-cuma. Masnya, selamat ya kamu berhasil memporak-porandakan segala yang telah saya bangun :) tapi cuma sementara, syukurnya saya cukup kuat untuk mendirikan kembali bangunan saya seorang diri. Good job, Masnya. :)
Kalau mau tau (atau saya memaksa memberi tau kalian), cukup lama saya untuk me-recovery segalanya. Satu tahun lebih, sampai rasa saya benar-benar habis untuk makhluk seperti Masnya ini. Dan dalam prosesnya, saya lebih banyak menuangkan perasaan saya ke dalam bentuk tulisan. Selain memang karena hobi, saya pun berpikir kalau "musibah" ini harus menghasilkan sesuatu, setidaknya minimal menghasilkan karya, yang saya sendiri yang menikmati atau bahkan bisa dinikmati juga oleh orang lain. Jadilah beberapa tulisan, yang isinya yaaa kurang lebih seperti kisah yang saya ceritakan di atas.
Patah hati itu...nikmat. kalau saja kita mau lebih jeli melihat peluang positif di balik itu semua. Patah hati itu ga selamanya harus menangis meraung-raung, ga makan, ga mandi, ga mau keluar kamar (oke saya pun pernah se-alay ini), tapi cobalah lampaui diri kalian sendiri dengan menciptakan "sesuatu" yang menghasilkan, sesuatu yang bisa bikin kalian bangga sama diri kalian sendiri. Kalau saya, lewat tulisan karena hobi saya menulis. Kalian bisa menuangkannya dalam bentuk apa saja sesuai minat dan hobi kalian. Jangan mau dijajah sama perasaan sendiri. Buat orang yang menyakitimu itu menyesal dengan menghasilkan sesuatu yang membuat kamu kembali merasa bahagia. Ciptakan bahagiamu sendiri, jangan ditunggu. Percaya deh, patah hati itu, nikmat :)
Kenapa jadi sok bijak gini. So sorry :))
Intinya, itulah cerita di balik dua tulisan saya yang kesannya kok sedih banget. Iya, emang saat itu penulisnya sedang sedih :) sekarang alhamdulillah masa-masa kegelapan itu udah lewat dan saya sudah fokus pada masa depan saya. Dulu, jangankan mau ceritain hal ini, denger nama si pelakunya pun saya ga mau, mungkin karena hati yang belum ikhlas dan belum mau nerima kenyataan. Sekarang, saya bisa ceritain ini ke siapapun dengan tersenyum lebar dan berharap jadi inspirasi lah ya minimal (apanya yg mau dijadiin inspirasi hehe). Ya kalaupun ga bisa dijadiin inspirasi, seenggaknya dijadiin semangat untuk kalian-kalian teman-teman di luar sana yang juga tengah berjuang buat move on atau apapun itu namanya. Semangat!!!
Patah hati itu nikmat. Percaya deh. :)
12 April 2016

Selasa, 12 April 2016

Kamu Mengagumkan

Ribuan kilo meter dari tempat saya sekarang menggores pena, seseorang tengah berjuang di tengah samudera sembari ditemani ombak yang kerap datang tak bersahabat.
Disini, fajar baru saja naik, bersiap memancarkan perhiasan cantiknya ke seisi langit, sementara di belahan bumi yang lain mentari baru saja pamit pulang ke peraduan.
Saya senang, atas usahamu sebagai lelaki meraih cita-cita. Setidaknya di mataku, kamu membanggakan, mengagumkan.
Di belahan bumi sana, berada rindu yang paling dalam dari rasa yang paling tulus, yang kamu tau itu milik siapa.
Kamu mengagumkan. Sama mengagumkannya seperti saat pertama kali kamu melihat bulbous bow, bow thruster, atau istilah lain yang tidak sepenuhnya saya mengerti.
Kamu harus tau, kamu semengagumkan itu. Hatiku sering lompat tak bisa diam layaknya anak lumba-lumba ketika akhirnya kudapati kabar darimu.
Saya tidak masalah, sama sekali, dengan segala keterbatasan yang membatasi. Jarak, waktu, tenaga, senyummu mampu menggantikan segalanya.
Kamu harus tau, bukan setiap saat hadirmu yang ku mau, rasa jatuh cinta pertama kita yang butuh dipupuk setiap harinya agar tidak layu. Sebatas itu. Segalanya dapat kuatasi, selama ada rasamu di sini.
Saya mau kamu terus berjuang, meraih impianmu sebagai lelaki, karena disitulah letak harga diri.
Saya tabah, menantimu pulang, menggenapkan mimpi-mimpi yang terus meninggi.
Lempar sampai jauh jangkarmu, tenggelamkan sedalam-dalamnya. Sesekali lelah itu biasa, tanda kamu tengah berjuang.
Kamu mengagumkan. Saya tidak bisa lupa.
Berlayarlah yang jauh, kita tetap dekat.
Berlayarlah dan terus kayuh, saya yang setia menyeka peluhmu.
Berlayarlah, rumahmu tidak akan pergi.
Tetaplah mengagumkan.
Hingga kita menua bersama, tenggelam dalam keriput-keriput simpul tawa.
Kamu begitu mengagumkan.

9 April 2016

Rabu, 06 April 2016

Lautan di pelupuk matamu

Aku mengingat kembali, membuka lagi percakapan yg telah lama kami tinggalkan.
Ini bukan tentang seseorang. Bukan. Ini lautan.
Tempat dimana seluruh peluh berlabuh.
Peraduan untuk jiwa-jiwa yang kelelahan.
Ini bukan tentang siapa. Bukan. Ini lautan.
Tempat segala resah bersandar.
Tempat segala kesah menemukan pendengarnya.
Rupanya apa yg kusebut lautan itu begitu memabukkan.
Gelombang dan pasang tak tentunya datang.
Siapapun harus siap dengan perbekalan. Bukan hanya bermodal tekad dan sebilah sampan.
Lautan itu kadang tenang. Bak dininabobokan dalam pangkuan.
Birunya menyejukkan. Mendamaikan segala bentuk perbedaan.
Pekat.
Lekat.
Seperti awan dengan mendung yang menjadikannya hujan.
Lautan itu luas. Tiada batas.
Sejauh mata memandang yg bisa ditemui hanya damai dalam biru.
Lautan itu bak pelukan.
Jatuhlah sedalam-dalamnya, maka jiwamu tidak akan tenggelam. Di dalam sana, akan ada yg memelukmu dengan sejuta keindahan.
Lautan itu jauh, namun dekat.
Sedekat hati yang membuat mata menjadi jendela.
Dan aku jatuh berkali-kali, pada lautan di pelupuk matamu.

6 April 2016

Selasa, 05 April 2016

Gadis di Balik Jendela

Gadis di Balik Jendela

Sore kala itu, beratapkan senja di langit jingga. Matahari dan kawanan burung gereja seolah berlomba untuk cepat sampai di peraduan. Desau angin beraroma peluh seolah berkata untuk segera pulang. Tapi tidak untuknya. Untuk siluet yang mengintip di balik jendela. Dia telah lama berdiri di situ. Menatap nanar pemandangan yang ada di depannya. Tatapan kosong itu seolah mewakili bibirnya yang membisu, yang seolah berkata bahwa dia Penanti yang Setia. Sinar-sinar senja yag menyusup lembut lewat celah-celah jendelanya, seolah bukan penghalang, bukan pula sebagai jam waktu untuk menghentikan kebiasaannya itu. Hingga matahari benar-benar sampai di peraduannya tak sedikit pun kakinya beranjak. Dia tetap terpaku dengan tatapan kosong dan membisu. Telah lama aku ingin bertanya, tapi selalu kuurungkan niatku itu tiap kali aku melihat pipinya basah karena air mata. Tapi hari ini, aku menggenapkan niatku itu.
“Apa yang kamu lakukan disini, Nona?”
Beberapa detik berlalu tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Aku menghela napas panjang dan hampir saja putus asa. Tapi sesaat kemudian, jawaban itu akhirnya keluar dari bibir yang entah sudah berapa lama setia membisu.
“Tidak ada”. Jawabnya singkat. Ya, sesingkat itu. Aku masih belum mau menyerah.
“Lantas untuk apa kamu selalu menghabiskan senjamu di tempat ini? Di balik jendela ini? Bukankah setiap tindakan selalu memiliki tujuan?” Lagi-lagi aku harus menelan pil pahit, menunggu jawaban yang keluar dari bibirnya. Sampai beberapa lama, masih belum ia menjawabnya. Sampai aku melihat pipinya yang kemerahan meneteskan air mata. Tetap dengan tatapan kosong ke depan, dia menyeka air mata itu dengan jari-jemarinya. Tak kulihat wajah yang panik, wajah itu tetap menegaskan sisi paling dingin sekaligus paling kuat yang dia miliki.
“Aku hanya menanti janji seseorang. Dan membuktikan janjiku.”
Aku bisa mendengar ada kesediahan dari bibirnya yang bergetar saat ia mengucapkan itu.
“Apa yang ia janjikan padamu, sampai-sampai begitu inginnya dirimu menagih janji itu?”
“Tidak ada. Hanya sebuah kepulangan.”
“Lalu apa yang kau janjikan padanya?”
“Tidak ada. Hanya kesetiaan untuk menunggunya pulang.”
Aku mulai memutar otakku. Takjubku dalam hati ada gadis yang setegar ini,maksudku ia mampu menutupi sisi paling rapuh dari dirinya dengan ketegaran yang belum tentu orang lain dapat lakukan. Ya, dia serapuh itu, ternyata.
“Untuk apa dia pergi?”
“Tidak tahu.”
“Lantas kapan dia akan pulang?”
“Tidak tahu.”
“TIDAK TAHU? Lalu untuk apa kamu melakukan semua ini? Menghabiskan waktumu untuk kepulangan seseoarang yang bahkan kamu sendiri pun tidak tahu untuk apa dia pergi dan kapan akan pulang. Menurutku, menunggu saja sudah sanagt menyakitkan, telebih lagi harus menunggu di atas segala ketidakpastian.”
“Rendahkan suaramu. Aku tidak tuli hanya untuk mendengar suaramu itu.”
“Maaf.”
“Sebelum dia pergi, dia berjanji akan pulang. Dia memintaku untuk tetap menunggunya, persis di tempat dimana terakhir kali dia melepasku pergi.”
“Dan kamu menerima mentah-mentah begitu saja sebuah janji yang kosong?”
“Tidak tahu.”
“Bahkan dirimu sendiri saja enggan untuk menjawab.”
“Aku hanya melakukan apa yang aku mampu. Satu-satunya yang aku mampu hanyalah ini. Menunggu. Persetan dengan segala ketidak pastian yang kamu sebutkan tadi.”
“Mengapa saat itu kau tidak menahannya saja, memintanya untuk tetap tinggal, disini, bersamamu?”
“Itu hal yang enggan aku lakukan. Kekuatan terbesar seseorang ada saat ia mampu menahan keinginannya dari menahan perginya seseorang.”
“Mengapa tidak kau coba untuk menemuinya?”
“Karena dia tidak memintaku untuk itu.”
“Lalu kenapa kamu hanya berdiri di balik jendela ini tiap senja hingga petang saja?”
“Dia berjanji kala langit jingga tengah memeyungi kita berdua. Dan dia pergi, seiring kepergian matahari di ufuk barat sana.”
“Lantas jika seseorang yang kamu tunggu itu tak pernah kembali?”
“Dia pasti kembali.”
“Kalau dia ternyata  kembali, tapi tidak untuk menemuimu…?”
“Itu artinya dia belum kembali. Karena kepulangannya pasti untuk menemuiku. Untuk menepati janjinya dan membuktikan janjiku.”
“Sampai kapan kamu akan disini?”
“Sampai dia pulang untuk menjemputku.”
Aku diam sejenak, tak habis pikir adanya perempuan yang memiliki keteguhan hati seperti dirinya. Ketabahan yang benar-benar mampu menggetarkan hatiku.
“Mengapa kamu sesabar ini?”
“Aku tidak sesabar itu.”
“Lalu apa namanya?”
“……”
“Mengapa dia sangat berarti bagimu? Sampai-sampai kamu mau menghabiskan sisa waktumu untuk menunggunya?’
“Tidak ada alasannya. Bagiku cinta tidak butuh alasan. Kalau cinta ya cinta saja. Dahulu sekali, aku pernah begitu bodoh menyakitinya. Meninggalkan dia yang memberikan seluruh hidupnya hanya untuk orang sepertiku. Maka aku tidak akan mau mengulanginya lagi. Ini hanya salah satu bentuk perjuanganku untuk ia yang pernah berjuang untukku.”
“Tapi sekarang dia yang menyakitimu.”
“……”
“Kenapa tidak kau tinggalkan saja dia? Lupakan segala janji-janji kosongnya dan membuat kebahagiaanmu sendiri?”
“Kamu orang kesekian yang memintaku untuk itu. Tapi dengan segala hormat, aku menolaknya.”
“Mengapa?”
“Mengapa kamu selalu bertanya ‘mengapa’? apa setiap keputusan yang aku ambil harus kau dengarkan alasannya?”
“Tentu. Karena menurutku setiap apapun pasti memiliki alasan. Dan kaupun mempunyai itu.”
“Tidak ada. Satu-satunya alasan mengapa aku masih saja menungguinya, karena aku mencintainya. Klasik. Tapi itu nyatanya. Berhentilah bertanya ‘mengapa’. Karena beberapa pertanyaan akan lebih baik untuk tidak diketahui alasannya. Dan pertanyaan ‘mengapa’, hanya untuk mereka-mereka yang telah habis rasa percaya.”
“Pertanyaan ‘mengapa’ pun bisa meluruskan sesuatu yang keliru. Seperti pola pikirmu itu.”
“Maksudmu?”
“Ah, tidak ada maksud apa-apa.”
“Baiknya kau pergilah. Tak usahlah kau campuri urusanku. Terima kasih sudah bertanya.”
“Kau tersinggung rupanya? Maafkanlah mulut lancangku ini, Nona.”
“Baiknya kau pergilah. Aku terusik dengan kehadiranmu. Tinggalkanlah aku disini sendiri.”
“Kau rupanya belum sadar ya, kalau aku orang yang selalu memperhatikan kebiasaanmu ini. Di bawah pohon sana, tempatku bercerita pada diriku sendiri.”
“Untuk apa kau melakukan itu? Tidak sopan. Membuntuti orang tanpa seizinnya.”
“Karena aku ingin tahu alasanmu selalu berdiri di balik jendela ini.”
“Untuk apa kau mau tahu segala urusanku? Kita pun tak saling kenal sebelumnya.”
“Karena aku menaruh hati padamu, Nona. Terlalu berharga dirimu menghabiskan waktu disini, hanya untuk dia yang telah pergi.”
“Tidak ada hak untukmu mengatakan itu.”
“Dan tidak ada hak untuk orang yang telah meninggalkan mu itu memperlakukanmu seperti ini. Waktumu terlalu berharga. Berhentilah menyia-nyiakan waktumu itu.”
“Kau telah melakukan kesalahan yang fatal. Pergilah. Aku disini bukan untuk mendengar guraumu itu.”
“Sadarlah.”
“Pergi kataku.”
“Sering kali karena terlalu fokus pada apa-apa yang sebenarnya semu, kita justru mengabaikan apa-apa yang sebetulnya nyata. Hati memang cenderung berpihak pada ia yang lebih menyakiti, entah mengapa.”
“…….”
“Seperti yang telah aku bilang tadi padamu di awal. Kau terlalu bodoh menunggu kepulangan seseoarang yang sebenarnya tak menjanjikan apa-apa padamu. Dan aku terlalu bodoh, karena tak pernah mampu membebaskan orang yang ku kasihi dari pikirannya yang keliru. Kita memiliki kesamaan, Nona. Kau menunggunya pulang di balik jendela. Aku menantimu sadar tanpa mampu berbuat apa-apa.”

28 Desember 2013

Teruntuk Tuan Nun Jauh Disana

Teruntuk Tuan yang tak habis ku cintai. Tuan, disini aku gigil menahan rindu tak berkesudahan. Pilu hatiku lantaran kau tak jua kunjung pulang.
Tuan, jikalau tabir pemisah antara kami berdua tak hendak mengalah, beratkah hatimu berjuang tuk kebersamaan yang hakiki, yang diisi hanya antara kau dan aku di dalamnya. Sudikah dirimu korbankan segala, tuk mempersatukan apa-apa yang tlah lama terpisah? Aku dirundung lelah tiap kali malam tiba mengusik batinku, pun resah tiap kali pagi menyapa yang menyayat bak sembilu.
Tuan, kiranya kau rasakan apa yang aku rasakan mengapalah tak jua kau temui orang yang kau sebut sebagai rindu itu? Apalah lagi yang hatimu tunggu?
Teruntuk Tuan yang kerap hadir dalam mimpi tanpa permisi. Kau katakan, bahwa aku terlalu berharga untuk kau lepaskan. Lantas kini, mengapa lah tak jua hendak kau penuhi janji. Aku pun tak dapat selamanya mengabdi dalam menanti. Kekal bukanlah milik manusia yang lemah sepertiku, lantaran ada takdir Tuhan di dalamnya.
Teruntukmu Tuan, yang tak habis ku lantunkan namamu dalam tiap sujudku menghadap sang Ilahi Robbi. Betapapun lupa ingatanmu atas diriku, hatiku tak kunjung mau beranjak. Aku rupanya perlu diyakinkan sekali lagi kalaupun kita tak pantas bersama. Maka lah aku ceritakan segala resahku pada Sang Ilahi, kiranya Ia mentakdirkan kita berdua. Karena berkata padamu pun aku tak mampu, inilah caraku yang paling mulia, mengukir namamu dalam doa-doa seraya memantapkan hati sekiranya hal terburuk terjadi.
Tuan yang menggetarkan seisi hati saya tiap ku mendengar namanya. Berkenankah seandainya aku ingatkan kembali lupamu agar tak hilang segala ingatan itu? Yang hampir habis ditelan waktu lantaran tak kunjung temu. Ingatkah ketika kau sapukan airmataku lantaran tak sanggup menahan pilu melepas kepergianmu? Bergetar hatiku tiap kali tak sengaja sekejap mengingatnya. Ingatkah masih dirimu saat peluk demi peluk lantaran hari itu semakin dekat. Tentang dua hati yang enggan saling melepas, mencoba taklukkan lara dan nestapa yang kala itu setia memeluk, semata membuktikan bahwa kita terlalu tangguh tuk dipisahkan semesta.
Sudikah masih ingatanmu mengingat bahwa hari-hari pernah kita lewati begitu indahnya. Mencerahkan segala langit yang mendung, mencerahkan mentari yang terkurung murung. Mengubah tetes demi tetes hujan menjadi butir-butir salju. Semudah itu kita mengubahnya, sesuatu yang dirasa tak mungkin lantaran hanya dirasa oleh kita berdua. Masihkan Tuan nun jauh disana menyimpannya? Sesuatu yang ku simpan apik disini, lantaran terlalu indahnya untuk ku tumpukkan sebagai sesuatu yang hanya pernah.
Tuan yang memenuhi tiap-tiap dasar hati. Aku seringkali berdoa kepada Sang Ilahi Robbi kiranya Beliau menghadirkan sosokmu dalam bunga tidurku. Bahwasanya tiap kali ku dirundung kelu lantaran rindu, aku dapat menjumpaimu disana untuk mengadukan segala rasaku kepada sosok yang kujumpai itu, lantas ia membiarkan kepalaku rebah di bahunya, menceritakan segala derita, lalu merangkulku lantaran tangisku dan tangismu memecah. Begitu indahnya bunga tidur yang ku jumpai, lantaran itulah, sebab aku tak dapat menjumpaimu dalam raga, sekiranya dalam bunga tidur pun menjadi pelipur lara yang setia.
Teruntuk Tuan yang tak jua pergi dari ingatan. Sekiranya kita berpisah ribuan jauh jaraknya, namun hati rupanya tak miliki jarak terjauh. Lantaran aku masih merasakan firasat demi firasat tentang dirimu yang pun merindu di belahan sana. Tentang hatimu yang terus inginkan sebuah pulang. Jikalau luasnya lautan dapat memisah jarak langkahku dengan langkamu, namun tak dapat memutus firasat antara dirimu dengan hatiku. Bahwasanya mungkin itulah letak ajaibnya dua cinta yang sering dikatakan tetua dahulu, yang rupanya kini tengah kita rasakan pahit pun manisnya.
Teruntuk Tuan yang sangat saya cinta. Sadarkah dirimu bahwasanya aku terlalu menaruh percaya kepada sosokmu yang tlah menjauh raganya. Jika tanpa keyakinan yang tak mungkin aku sudi menggantungkan harapan padamu, sosok rindu yang kerap terpaksa teredam. Tak mungkin kiranya aku menaruh asa masa depan pada sosok yang jikalau belum yakin benar ku cinta.
Tuan, malam-malam kini kerap semakin kejam mengurungku dalam gigil, memenjarakan ingatan-ingatan tentang luka lama yang tak lagi ingin ku ingat sebagai asa atau apapun namanya. Aku kerap diserang cibir yang berkata bahwasanya aku bak sungai yang mengharap samudera, bahwasanya aku terlalu bodoh kata mereka memelihara luka dan menanti orang yang tak lagi kelihatan raganya. Bahwasanya mereka menyuruhku berbuat apa-apa yang mereka kehendaki, apa-apa yang mereka yakini. Sedang aku hanya bisa tertunduk menahan malu seraya mayakinkan diriku bahwa derita ini takkan setia membelenggu. Ku tutup sajalah telingaku, agar tak dapat lagi mereka menyakiti hati yang memang tengah nestapa.
Tuan, aku kerap membayangkan bahagia-bahagia kecil yang kelak tercipta jikalau kau sampai di tempatku. Mungkin akan tak banyak kata yang akan ku kata. Hanyalah pelukan-pelukan yang tercipta tuk ucap segala rasa yang tak berdaya aku lisankan.
Tuan, Tuan taukah bahwasanya aku mencoba mencintai apa-apa yang kau suka betapapun aku tak menyukainya. Bahwasanya aku tak hanya ingin mencintai keelokanmu saja melainkan berusaha menyukai apa-apa yang menjadi kurangmu. Maafkanlah aku, jikalau kini aku hanya mampu memelukmu dalam doa-doa. Janganlah berlelah hati, semua akan ada masanya jua. Barangkali semesta menginginkan kita bekerja lebih keras lagi, maka biarlah kita selesaikan urusan kita seraya membiarkan semesta menepati janjinya.
Tuan, berdoalah kepada Tuhanmu agar kita segera dipertemukan waktu. Kelak di langit kan terbingkai doa kita berdua dan berwujud menjadi nyata. Tak banyak pun inginku. Hanyalah sebuah temu agar aku dapat memulai rindu yang baru. Kalau-kalau kelak kau kan pergi lebih lama lagi aku tak terlalu merasa nestapa mengharap asa. Sebab aku pun cukup mengerti bahwasanya kau perlu meraih cita-citamu sebagai lelaki.
Tuan, jikalau Sang Ilahi Robbi mengizinkan kita tuk lebih lama lagi, aku tak berkeberatan jikalau mesti menyimpan rindu lebih panjang lagi. Lantaran janjiNya tak pernah ingkar, tak perlulah aku meragu akan takdirNya. Sebab waktu pasti mempertemukan tiap hati yang ditakdirkan bersama. Aku kan menabahkan hatiku tuk menjaga segala apa yang kau katakan, sekiranya saja kau memintaku untuk itu, Tuan.
Tuan, terkadang kala aku sedang terduduk mengenang semua, kau pun hadir dalam bentuk yang lain. Ingatan tentang aromamu yang kerap selewat datang bersama angin. Aku sangat menyukai jikalau ingatan tentang aromamu itu datang walau sekejap, sebab aku dapat rasakan kembali hadirmu yang menjelma lewat sela-sela angin dengan cantiknya.
Teruntukmu Tuan, aku tak pernah mampu melenyapkanmu dalam ingatan. Sehebat apapun caraku berusaha, tentu ada sajalah segala yang mengingatkanku kembali. Semesta mungkin tak ingin jikalau kita terlupa, maka ia tak izinkan aku lupa barang semenit saja. Maka kiranya sebab itu, lekaslah kemari, agar menyatakan apa-apa yang tertinggal tersamar. Agar abadilah segala rasa yang belu berani ku sebutkan namanya, hingga nanti Sang Ilahi mengizinkan waktunya tiba. Teruntukmu Tuan yang ku cintai dari jauh, peliharalah rasamu layaknya aku menjaga rasaku. Tetaplah berjuang sebab ada setiap aku dalam doa.
Tertanda, aku yang berada sekian jauhnya dari tempatmu berada.

29 Desember 2013